DPW LDII Jawa Barat Gelar Workshop ICT

Image

Pembukaan Workshop ICT yang diselenggarakan oleh DPW LDII Jawa Barat

Bandung (16/02/13) – Dewan Pimpinan Wilayah Lembaga Dakwah Islam Indonesia (DPW LDII) Jawa Barat menggelar Workshop Information & Communication Technology (ICT) selama dua hari, 16-17 Februari 2013.

Workshop yang diselenggarakan di kantor DPW LDII Jawa Barat jalan Sarijati Margacinta Bandung ini dihadiri oleh seluruh perwakilan DPD Kota/ Kabupaten se-Jawa Barat ditambah  utusan dari pondok pesantren.

Kemajuan teknologi telah membawa dampak yang sangat besar pada kehidupan masyarakat termasuk umat Islam di dalamnya.

Lebih lanjut dalam arahannya Ir.MT. Prasetio Sunaryo selaku Ketua DPP LDII yang juga anggota Dewan Riset Nasional bidang Hankam mengatakan, ” Jangan sampai teknologi itu malah membuat umat menjadi rusak karena disalah gunakan untuk menyebarkan pornografi, hasutan kebencian, fitnah atau berita bohong, hendaknya warga LDII dimanapun berada justru harus bisa meneladani masyarakat luas untuk bisa menggunakan teknologi itu untuk hal-hal positif, kebajikan, nasihat amar ma’ruf nahyi munkar, maka era Cyber ini kita manfaatkan untuk berdakwah.”

Workshop ICT yang bertajuk Membangun SDM Unggul Melalui Cyber Dakwah ini sukses dibuka oleh Ketua Umum DPP LDII Prof. DR. KH Abdullah Syam, MSc.

(Kontributor. Fajar Ibnu)

Musda Lembaga Dakwah Islam Indonesia Kota Bekasi

Musda LDII Kota Bekasi 2011

GENERASIINDONESIA – HM Nurhadi kembali terpilih sebagai Ketua Dewan Pimpinan Daerah Lembaga Dakwah Islam Indonesia Kota Bekasi, Jawa Barat, periode 2011-2016 melalui Musda yang berlangsung pada hari Sabtu, (9/7) pekan lalu di Gedung Balai Besar Peningkatan Produktifitas Cevest Cikarang, Bekasi Selatan.

HM Nurhadi terpilih kembali dengan mengantongi suara mayoritas meski sempat dihujani interupsi oleh peserta ketika membacakan laporan. Namun karena dianggap lebih visioner dan sangat piawai dalam memimpin, peserta pun memilihnya untuk kembali menduduki kursi Ketua.
“Beliau sosok yang sangat supel, Lembaga Dakwah Islam Indonesia di Kota Bekasi ini memiliki berbagai program yang melibatkan ormas lain terutama dalam menggalang aktifitas positif di kalangan remaja dan pemuda, ini layak ditiru oleh daerah lain. Apalagi akhir-akhir ini pemerintah sedang menggalakkan penggalangan pemuda untuk meredam berbagai aksi tawuran dan sebagainya,” kata Agus Wiebowo, salah satu peninjau.
Musda dihadiri oleh seluruh unsur dalam struktur organisasi DPD yang meliputi DPC hingga PAC di seluruh Kota Bekasi. Seluruh unsur Muspida Kota Bekasi, Majelis Ulama Indonesia dan perwakilan ormas-ormas Islam lain. Dari Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Dakwah Islam Indonesia, hadir sebagai pengisi sesi pembekalan adalah Ratoyo Rasdan yang juga Asisten Deputi Kewirausahaan, Kementerian Pemuda dan Olahraga.
HM Nurhadi dalam pidato sambutan usai penghitungan suara yang mengukuhkannya kembali sebagai Ketua DPD, menegaskan sekali lagi bahwa seia sekata dengan Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Dakwah Islam Indonesia, bahwa DPD Kota Bekasi juga mendukung sepenuhnya empat pilar kebangsaan yakni Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI adalah harga mati.Hal ini ia sampaikan karena banyak pihak memandang ormas islam identik dengan ekstrimis, tidak nasionalis dan sebagainya.

LDII, NU, Muhammadiyah & Umat Islam DKI Takbir Akbar di Istiqlal

Jakarta,(9/10),LDII beserta seluruh Ormas islam mengajak seluruh kaum muslim di Indonesia untuk dapat menjadi solusi berbagai persoalan bangsa terutama dalam mengatasi kemiskinan yg selama ini menjadi persoalan yg tidak terselesaikan di Indonesia.

Ketua DPP LDII yg  juga pantia Takbir Akbar di Istiqlal H. Prasetyo Sunaryo mengatakan selama ini peran serta umat islam di Indonesia dalam memerangi kemiskinan masih sangat minim, meski sebagian besar penduduk indonesia memeluk agama islam. “Sebagian besar penduduk miskin di Indonesia adalah kaum muslimin. Kalau kita lihat saat ini umat islam di Indonesia bahkan diseluruh dunia saat ini masih belum berperan sebagai pemberi solusi pemecahan masalah kemiskinan tapi masih sering dituding sebagai pembuat masalah.”tambahnya.

Data BPS menyebutkan bahwa ada 31 juta penduduk Indonesia hidup dalam kemiskinan.Menurut Prasetyo  hal ini seharusnya dijadikan ladang amal sholeh bagi kamu muslimin di Indonesia untuk bisa berperan serta dengan pemerintah guna penanggulangan kemiskinan tersebut.

“Dalam hadist diriwayatkan bahwa kemiskinan mendekatkan diri kepada kekufuran,hal ini harus disadari oleh kaum muslimin indonesia untuk dapat menolong saudaranya dan lingkungan disekitarnya karena sebagian besar masyarakat miskin di Indonesia adalah umat islam.”kata prasetyo kepada wartawan di jakarta hari ini.

Lebih lanjut prasetyo mengatakan sebagai umat terbesar di Indonesia kaum muslim diajak untuk kembali meneladi sifat yang di miliki Nabi Muhamad yg selalu berjuang tidak hanya menyebarkan agama Islam belaka tetapi juga berusaha memakmurkan setiap wilayah dimana islam tersebut berada.

“Keberadaan agama islam sebagai “Rahmatan Lil Alamin” akan semakin bermakna manakala seluruh pemeluknya dapat memberikan kesejahteraan dan rasa aman di lingkungan masing-masing. Bayangkan kalau setiap 1 keluarga muslim dapat melakukan hal itu maka kedamaian dan kemajuan islam akan semakin cepat,”tegasnya.

Selain masalah kemiskinan,menurut prasetyo kaum muslimin juga harus bisa menjadi pelopor dalam berbagai kegiatan yg memajukan bangsa indonesia tanpa harus meninggalkan kaidah agama. “banyak ladang amal sholeh yg bisa dikembangkan kaum muslimin tanpa harus melakukan kekerasan seperti yg terjadi saat ini,”imbuhnya.

Sementara itu Ketua departemen pemudan Dewan Masjid Indonesia H. Daud poliradja mengatakan, mementum takbir akbar yg di ikuti hampir semua ormas islam ini dapat dijadikan titik balik kebangkitan Islam di Indonesia.

“ini untuk pertama kalinya seluruh ormas islam terlibat dalam acara takbir akbar.Kita harapkan mereka yg selama ini berjalan sendiri-sendiri kedepan akan saling sinergi membangun bangsa indonesia dengan memerangi kemiskinan. Mereka antara lain Dewan Masjid Indonesia, LDII,NU,Muhamadiyah,Badan Koordinasi Pemuda Masjid seluruh Indonesia,Majelis Nurul Mustofa,Persis,dll yg saya tidak bisa sebutkan satu persatu”kata Daud.

Daud menambahkan sebagai negara muslim terbesar di dunia umat islam di Indonesia diharapkan mampu dan berperan aktif dalam menyelesaikan berbagai persoalan baik didalam negeri ataupun dunia internasional. sehingga Islam dapat kembali menuju zaman ke emasan seperti masa terdahulu.

Pada kesempatan yang sama, Menurut Prasetyo juga dibagikan santunan sebanyak 10 ribu anak yatim piatu.”Penyerahan santunan itu dilakukan oleh Menteri Negara BUMN kepada mereka (anak yatim ) dari berbagai daerah yang ada disekitar jabotabek,” kata prasetyo.

Waspada Teroris, Ponpes LDII Perketat Pendaftaran

Menara Pondok Pesantren LDII Kediri - Jawa Timur

Menara Pondok Pesantren LDII Kediri - Jawa Timur

Kediri (ANTARA News) – Pondok Pesantren (Ponpes) Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) Kediri, Jawa Timur, memperketat sistem pendaftaran santri asal Malaysia yang ikut program pesantren kilat selama bulan Ramadan.

“Setiap santri yang akan belajar di sini harus melengkapi diri dengan identitas diri dan surat-surat penting yang dikeluarkan pemerintah. Terlebih terhadap santri asal Malaysia, karena kami tidak ingin pondok ini disusupi teroris,” kata Pimpinan Ponpes LDII H Kuncoro kepada ANTARA di Kediri, Jumat.

Menurut dia, sekarang ada sembilan warga negara Malaysia yang tengah mengikuti program pesantren kilat selama bulan Ramadan di Ponpes LDII yang berlokasi di Jalan HOS Cokroaminoto No 195, Kediri.

Dari sembilan warga negara Malaysia itu, enam diantaranya berjenis kelamin perempuan dan semuanya menetap di rumah sewa yang ada di sekitar lokasi pondok pesantren yang didirikan almarhum KH Nurhasan Al Ubaidah pada 1952 itu.

Kuncoro menjamin, semua santri asal Malaysia yang tengah mengikuti program pesantren Ramadan itu tidak terkait dengan jaringan terorisme di bawah komando Nurdin M Top yang sampai sekarang masih buron.

“Kami tidak segan-segan menolak calon santri yang kelengkapan identitas dirinya kurang. Meski dia penduduk sekitar sini, tapi kalau tidak memiliki KTP dan surat keterangan dari lurah, pasti kami tolak,” ujarnya menegaskan.

Demikian halnya bagi calon santri asal daerah lain, tidak akan bisa menimba ilmu di Ponpes LDII jika tidak membawa surat jalan dari pemerintah daerah asal calon santri yang bersangkutan.

“Dulu kami tidak seketat ini. Meski ada jaminan dari kenalan atau saudara yang mondok di sinipun, kalau tidak ada identitas dan surat-surat keterangan lainnya tidak akan kami terima,” kata Wakil Pimpinan Ponpes LDII H Ibrahim menimpali.

Kebijakan tersebut diambil, lantaran beberapa waktu lalu pondok pesantren yang dihuni sekitar 2.000 santri dari seluruh pelosok Tanah Air dan sebagian dari negara tetangga itu, menjadi incaran petugas intelijen karena diduga menjadi tempat persembunyian pelaku terorisme.

Meski pada akhirnya tidak terbukti, namun pimpinan Ponpes LDII melakukan tindakan preventif kalau-kalau memang ada diantara ribuan santrinya itu ada yang terlibat jaringan terorisme.

Sebelumnya, santri asal Malaysia yang “mondok” di Ponpes LDII jumlahnya mencapai belasan orang, namun belakangan ini tinggal sembilan orang saja.

“Selain dari Malaysia, dulu santri kami ada yang berasal dari Brunei dan Singapura. Sekarang ini hanya ada santri dari Malaysia yang ikut program kilatan,” papar Ibrahim menjelaskan.(*)

(Sumber: www.antara.co.id)

Presiden SBY Terima LDII di Istana

sby01

Presiden SBY menjabat tangan Ketua Umum LDII K.H. Abdullah Syam

ISTANA NEGARA │Selasa, 23 Juni 2009│

Hari Selasa (23/6) pagi di Kantor Kepresidenan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima Pengurus Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), yang tanggal 10 s/d 12 Juni 2009 lalu menyelenggarakan Rapimnas. Kepada Presiden, pimpinan LDII melaporkan hasil-hasil Rapimnas, termasuk 11 butir pokok-pokok pikiran dan masukan kepada Presiden.

“Presiden SBY sempat membahas satu persatu 11 butir pikiran yang konstruktif dan kontributif terhadap perjalanan bangsa ini,” kata Juru Bicara Presiden, Andi Mallarangeng. “Butir-butir pikiran itu, termasuk bagaimana LDII mengawal proses demokrasi dalam pemilihan presiden yang bisa memberi rahmat bagi masyarakat Indonesia tersebut sangat diapresiasi,” lanjutnya.

Ketua Umum LDII, K.H. Abdullah Syam, menyampaikan bahwa dalam AD/ART LDII tercantum Rapimnas. “Kita melihat ada satu dinamika dalam perubahan tiap lima tahun sekali dalam demokrasi, pemilihan presiden. Kita lihat ada sumber daya manusia, demokrasi, menyangkut kedaulatan Indonesia. Kami berupaya memberi kontribusi kepada penegakan demokrasi yang bermakna, ” jelas Abdullah.

“Ada lima lembaga pemerintah yang bisa hadir, para pakar yang berkaitan dengan lembaga dakwah dan dibuka Presiden yang diwakili Menteri Agama. Menkes juga hadir. Disitu kita mendapat bantuan 19 pos kesehatan, masing-masing senilai Rp. 19 juta, diresmikan di Bandar Lampung. Tiga puluh lainnya diusulkan untuk 2009,” ujar Abdullah. Jaksa Agung hadir dalam topik supremasi hukum, Kapolri hadir dalam peran ormas dan kamtibnas, dan Menkominfo hadir dalam pembahasan teknologi sebagai media dakwah,” terang Abdullah.

4436

Pimpinan LDII melaporkan hasil Rapimnas LDII 2009

Sebelas keputusan Rapimnas tersebut direspon satu-persatu oleh Presiden. “LDII sangat berterimakasih kepada Presiden SBY. Kami berharap hasil Rapimnas dapat memberikan penguatan. Ini kontribusi kita dalam Rapimnas, dan sudah direspon dengan baik, semoga bisa memberikan manfaat dan maslahat bagi bangsa,” Abdullah menjelaskan.

Presiden SBY, Menseneg dan Pimpinan DPP LDII berfoto bersama

Presiden SBY, Menseneg dan Pimpinan DPP LDII berfoto bersama

Saat menerima tamunya Presiden SBY didampingi Mensesneg Hatta Rajasa, Seskab Sudi Silalahi dan Menkominfo M. Nuh. Sementara pengurus Dewan Pimpinan Pusat LDII yang diterima SBY antara lain, Ketua Umum K.H. Abdullah Syam, Dewan Penasehat K.H. Abdul Syukur, K.H. Mulyono, Shobar Wiganda, Kriswanto Santoso, dan Ratoyo Rasdan. (osa)

(sumber: www.presidensby.info)

Jusuf Kalla Mewakilkan Kehadirannya Dalam Pesantren Kilat Sunan Nasai Juz 7

Nasai

LDII Jatibening.      Wakil Presiden H.Jusuf Kalla yang diwakili Halim Kalla menutup Pesantren Kilat Hadits Sunan Nasa’i Juz 7 pada hari minggu 31 Mei 2009 yang baru lalu di Pondok Pesantren Syairullah Jl. Melati 1C Jatibening Baru, Pondok Gede Bekasi Barat.

 

Dalam kesempatan tersebut atas nama Jusuf Kalla, Halim Kalla menyampaikan permohonan maaf Bapak Wapres tidak berkenaan hadir karena pada waktu bersamaan harus menghadiri acara lain, lebih lanjut disampaikan,

 

“…saya berharap apa yang sudah dipelajari bisa bermakna dalam kehidupan dan kesejahteraan untuk kehidupan yang lebih baik, Insya Allah dilain kesempatan beliau (Bapak JK) dapat bersilaturrahim dengan para santriwan-santriwati Ponpes Syairullah ini, kan Lebih Cepat Lebih Baik… ha..ha.” demikian Halim menambahkan.

 

Sebanyak 2500 peserta yang berasal dari sekitaran Jabotabek hadir memeriahkan Pesantren Kilat ini selama seminggu penuh mulai 23 Mei lalu. Mereka selalu terlihat semangat dan antusias dalam menyerap materi hadits yang disampaikan oleh Ustadz H Zainal Muchid.

 

Pesantren Kilat ini diikuti pula secara On Line oleh mereka yang jauh dengan memanfaatkan teknologi internet yang ada sekarang, beberapa peserta on line dari dalam negeri diantaranya dari Surabaya, Kediri, Garut, Bandung, Jakarta dan Bekasi. Sedangkan dari luar negeri diantaranya ada yang dari Scotlandia, California-US, Maine-US, Bermuda Island, Tsukuba-Japan, Nagoya-Japan, Hongkong dan Qatar.

 

Pondok Pesantren yang telah berdiri sejak 14 Juli 2002 dan saat ini memiliki 154 santri ini adalah hasil swadaya murni warga LDII yang dikelola oleh Yayasan Syairullah. Sejak masa didirikannya Ponpes ini telah banyak mencetak ustadz-ustadzah/ mubaligh-mubalighat yang sudah tersebar keseluruh nusantara dalam rangka dakwah dan pembinaan pendidikan agama Islam di Indonesia.

 

< Fajar/BksT/Serang/K1>

Mewujudkan Keadilan Ekonomi Dalam Islam

Oleh : Ibnu Anwaruddin, SH

Dalam Q.S. AL-Hujurot (49:10) menyatakan ”sesungguhnya orang-orang mu’min itu adalah bersaudara, oleh sebab itu adakanlah perdamaian antar sudaramu”.
Konsep Islam tentang persaudaraan, persamaan dan keadilan merupakan konsep yang mendasari setiap bidang kehidupan seperti dalam bidang moral, social dan ekonomi.
Jika kita melihat penerapan yang dilakukan oleh bank islam dalam menyalurkan pembiayaan, maka sebenarnya hal tersebut diadaptasi dari konsep masyarakat islam itu sendiri. Yang paling utama dalam penerapan konsep ini adalah peranan bank islam dalam mendistribusikan modal kepada pihak yang membutuhkan.
Dalam bukunya “Mengembangkan Bank Islam di Indonesia”, H.M. Amin Aziz mengelompokkan konsepsi Masyarakat Islam dalam 7 hal:
Yang pertama; Persaudaraan. Perwujudan nilai-nilai ukhuwah atara lain dapat diwujudkan dengan memiliki kepekaan dan empati terhadap kehidupan saudara-saudara kita yang kekurangan, memberikan santunan kepada yang lemah. Masyarakat yang mampu dan kaya jika tidak ingin secara langsung dapat menyalurkan dananya dengan bentuk tabungan, deposito dan sejenisnya kepada Bank Syariah, BPR Syariah, BMT maupun Koperasi. Agar dana tesrebut dapat dimanfaatkan untuk masyarakat kecil melalui penyaluran pembiayaan di sector usaha mikro dan kecil.
Kedua; Mengayomi kaum lemah. Islam menyerukan kepada penganutnya aar senantiasa membela dan mangayomi kepentingan kaum lemah dan miskin. Dalam hal ini, secara ideal Bank Islam mempunyai peranan sangat penting terutama dalam mengangkat taraf kehidupan masyarakat ekonomi lemah. Teknisnya adalah dengan memberikan modal kerja dengan beban bagi hasil ringan, memberikan bantuan teknis keterampilan serta manajemen dalam pengembangan usaha di sektior kecil.
Ketiga; Dinamis. Dalam Q.S. Al-baqoroh (2:30) menerangkan bahwa manusia (orang-orang yang beriman) adalah khalifah Allah di muka bumi. Sebagai konskuensinya, manusia dituntut untuk mengembangkan kuaitas hidup di segala sector kehidupan, sehingga masyarakat muslim terdorong untuk meningkatkan imajinasi, berpikir kreatif dan dinamis dalam mengembagkan usahanya di segala bidang.
Ke-empat; Memuliakan kerja dan prestasi. Setiap orang wajib bekerja untuk mencari rezeki Allah, menganggurkan diri adalah suatu sikap dan kondisi hidup yang tercela di mata islam. Q.S. AL-Mulk (67:15) menyatakan “Dia-lah yang menjadikan bumi itu mudah bagimu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezekinya”. Berjalan di segala penjuru dapat diterjemahkan dalam arti luas sebagai bekerja atau mencari rezeki di segala bidang kehidupan, Allah tidak memerintahkan manusia untuk memakan semua rezeki yang didapatkan, akan tetapi sebagian saja, karena sebagian lagi ada kewajiban manusia untuk ber-infak.
Ke-lima; Mengutamakan memberi. Menurut Islam perilaku memberi jauh lebih mulia daripada perilaku meminta-minta. Perilaku meminta dapat menurunkan harkat dan martabat manusia. Hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Imam Nas’I dan Tirmidzi menerangkan bahwa “mengemis adalah noda yang diletakkan seseorang pada wajahnya, kecuali memintalah pada penguasa atau pada meminta dalam hal ia sama sekali tidak dapat menghindarinya (sangat terpaksa)”.
Ke-enam; Disiplin, terencana dan berorientasi masa depan. Seorang mu’min senantiasa wajib mendasarkan hukum Alquran dan Alhadist dalam menjalankan kehidupannya. Konskuensinya, seorang mu’min harus mampu menunjukkan sikap disiplin mengikuti konsep serta batas-batas hukum yang berlaku. Demikian pula perilaku manusia harus berorientasi masa depan, sehingga penuh perencanaan yang matang dan tujuan apa yang hendak dicapai. Seperti halnya organisasi mempunyai visi-misi, oleh karena itu ada perencanaan strategis (renstra), program kerja dan lain-lain.
Ke-tujuh; Mengutamakan pemanfaatan modal dan berorientasi produktif. Zakat, infak & shodaqoh merupakan salah satu rangkaian ibadah.  Dengan zakat,  infak & shodaqoh diharapkan sumber kemiskinan dan kemelaratan dapat dilenyapkan. Di Indonesia yang mayoritas muslim, jika penggalian sumber zakat dari Mustahiq dapat optimal, kemudian distribusi serta pemanfaatan untuk modal kerja dalam proses produksi yang produktif maka niscaya akan mampu membantu menopang keterpurukan ekonomi kaum lemah / dhuafa. Di sinilah salah satu letak keadilan akan tercapai menurut konsepsi ekonomi islam.
Ideal memang konsepsi masyarakat islam di atas. Lalu dapatkah semudah itu kita mengaplikasikannya dalam kehidupan kita?, Tidak sulit, asalkan kita dapat berpikir kreatif, ada “good will” dari diri kita dan melakukan syiar tersebut kepada segenap umat muslim dalam segala tingkatan. Di samping peran pemerintah yang harus lebih signifikan, apalagi Indonesia sebagai negara dengan umat muslim terbesar di dunia saat ini, hendaklah bisa memberikan stimulus serta model yang efektif dalam mengaplikasikan ekonomi islam yang berlandaskan pada konsepsi masyarakat islam di atas.
Kita memiliki Usaha Bersama (UB) yang juga memiliki konsep berlandaskan atas usaha kebersamaan, kemandirian dan tolong menolong. Peran Usaha Bersama (UB) yang telah diprogramkan LDII lebih dari sepuluh tahun lalu ini sebenarnya bisa dimaksimalkan lagi. Idealnya, UB hanya berfungsi sebagai pengelola dana (fund raiser), mengumpulkan saham untuk selanjutnya disalurkan kepada para pengusaha, baik usaha kecil, menengah atau kelas atas.
Banyak pengusaha sukses di lingkugan kita yang dapat dititipi modal dari UB, sehingga UB hanya berfungsi sebagai funder (pendana), tanpa langsung terjun di bidang usaha tersebut secara langsung, namun berfungsi sebagai pengawas serta menerima laporan secara transparan dari pengelola modal dan bila perlu melakukan audit secara berkala.
Para pengelola / pengurus UB akan lebih bak lagi jika dibekali pengetahuan secara professional selayaknya Account Officer, atau minimal menguasai mekanisme penyaluran pembiayaan yang tepat dan selektif. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan workshop secara berkala melibatkan para Bankir Syariah professional, sehingga dalam mengelola dan meyalurkan pembiayaan nantinya dapat memiliki pertimbangan hukum serta analisa bisnis yang cukup, sebelum mengambil keputusan menyalurkan pembiayaan atau droping dana kepada para pengelola usaha.
Para pengusaha baik kecil maupun menengah yang akan menggunakan dana pembiayaan dari UB juga wajib memiliki legalitas usaha, bilamana perlu harus memiliki agunan yang cukup. Karena ada sebagian pengusaha yang memakai dana dari UB setelah usahanya merugi tidak dapat mengembalikan sebagian ataupun seluruh dana dari UB, karena tidak memiliki agunan maka tidak ada yang bisa dijual untuk pengembalian dana, akhirnya habislah modal / saham UB tersebut.
Setiap transaksi pembiayaan harus menggunakan model perjanjian yang standar. Bila perlu memenuhi standar legal perbankan.  Sehingga dengan perjanjian tersebut, para pengusaha yang menggunakan dana dari UB tidak akan bersikap main-main, melainkan penuh prinsip kehati-hatian karena adanya ikatan perjanjian yang mengikat kedua belah pihak denga segala konskuensinya.
Untuk mengaplikasikan konsep di atas, maka UB harus didorong menjadi Baitul Maal Wa-Tanwil (BMT) atau Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Dengan Badan Hukum Koperasi dan modal relative kecil, BMT sudah dapat didirikan. Lain halnya dengan BPRS yang memerlukan Badan Hukum Perseroan Terbatas dan kewajiban modal disetor minimal 1,5 Milyar rupiah.
Ketentuan tersebut harus dijlankan agar kegiatan usaha berupa pengumpulan modal tidak melanggar ketentuan Pasal 46 UU no.10 tahun 1998 tentang Perbankan, yang isinya antara lain sanksi pidana 5 hingga 15 tahun penjara bagi pengumpul dana tanpa ijin dan denda sebesar 10 hingga 20 milyar rupiah.
Modal kerja yang dimiliki UB saat ini jika digabung mungkin lebih dari cukup untuk membentuk BMT bahkan BPRS di tiap-tiap daerah. Hal demikian akan lebih efektif dan dapat mendorong para pengurus / pengelola UB untuk meningkatkan kapasitas SDM-nya, mengingat sebagian UB sekarang ini dikelola dengan SDM yang belum maksimal, ironisnya lagi sebagian besar belum berbadan hukum. Sasaran kegiatan UB yang saat ini kebanyakan masih terbatas kepada sector retail seperti penyediaan sembako, kelontong akan lebih baik jika bisa dimaksimalkan dan dikembangkan pada sector-sektor usaha lain, apalagi bisa berubah menjadi BMT, BPRS bahkan Bank Umum Syariah. Semoga!.

LDII – MUI Bersinergi Adakan Pelatihan Pembekalan Kader Da’i

LDII - MUI bersinergi dalam pembinaan ukuwah umat dalam pembekalan kader da'i

LDII - MUI bersinergi dalam pembinaan ukuwah umat selenggarakan pembekalan kader da'i

Beberapa waktu lalu (16/1), tepatnya Jumat malam, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta membuka Pelatihan Pembekalan Kader Dai-Daiyah Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) Provinsi DKI Jakarta di Aula Yayasan Minhajurrosidin, Lubang Buaya, Jakarta Timur.

Hadir dalam pembukaan tersebut, Ketua Umum LDII, KH Abdullah Syam, KH Hamdan Rasyid (Ketua MUI Provinsi DKI Jakarta), KH Muhammad Zainuddin (Ketua MUI Provinsi DKI Jakarta), dan Gubernur DKI Jakarta, dalam hal ini diwakilkan oleh Effendi Anas (bidang Askesmas). Pelatihan pembekalan mubaligh LDII tersebut, diikuti oleh 100 peserta. Kegiatan ini diselenggarakan atas inisiatif MUI Provinsi DKI Jakarta.

Melihat undangan yang ditujukan kepada Sabili, tertera tanda tangan Ketua Umum Dewan Pimpinan MUI Provinsi DKI Jakarta KH Munzir Tamam dan Sekretaris Umum HM Noor Syuaib Mundzir.

Salah satu ketua MUI Provinsi DKI Jakarta KH Hamdan Rasyid usai pembukaan mengatakan, kegiatan ini bertujuan untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, yakni melakukan kaderisasi para dai-daiyah.

“Kebetulan teman-teman LDII punya minat untuk memperluas wawasan dai-daiyahnya. Maka sudah menjadi kewajiban MUI untuk membina,” ujar Hamdan.

Sementara itu, KH Muhammad Zainudin berharap terjalinnya ukhuwah Islamiyah dan silaturahim antara MUI dan LDII.

“Jangan lagi ada tuduhan LDII mau di-MUI kan, atau MUI hendak di LDII kan. Ibarat tenda besar, ukhuwah dan kemitraan ini akan terus terjalin. Kecuali yang sesat dan menyesatkan, mereka harus dibetulkan. Sekali lagi, jangan sampai ada fitnah dengan jalinan antara LDII-MUI,” kata Zainudin.

Zainudin mengimbau LDII agar menyamakan visi-misi melalui paradigma baru yang menjadi keputusan dalam Mukernas LDII Maret 2007 lalu. “Tidak usah ragu. Kalau ragu-ragu tidak akan selesai-selesai. Terpenting LDII harus terus-menerus mensosialisasi paradigma baru itu kepada warga LDII.”

Saat dikonfirmasi, Ketua Umum LDII Abdullah Syam menegaskan, bahwa LDII tidak merasa dibina oleh MUI, tapi lebih kepada mitra yang sinergis. Abdullah Syam juga berharap LDII ingin sejajar bersama dengan ormas-ormas Islam lain. “Adanya ikhtilaf (perbedaan) seharusnya membuat kita saling bertasamuh,” katanya. (Adhes Satria/em)

( Sumber: SABILI.co.id )

Islam Tak Cukup dengan Jenggot Panjang dan Surban

Ketua PB NU

Ketua PB NU

Ketua PBNU, Prof. Dr. KH Said Aqil Siraj

Jenggot panjang, memakai surban, dan celana di atas tumit itu bagus. Tapi hal-hal yang bersifat simbolik itu tidak cukup untuk dinilai bahwa dia telah mengamalkan ajaran Islam. Ulama terdahulu, seperti Ibnu Sina, Imam Al-Ghozali dan sejumlah tokoh Islam lain juga punya jenggot yang panjang dan juga pakai surban. Namun, sekali lagi, Islam tidak cukup hanya dengan jenggot dan surban saja. KETUA Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Said Aqil Siraj mengungkapkan hal tersebut saat menghadiri acara Maulid Akbar di Masjid At-Tin, di Kompleks Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. “Mengamalkan ajaran Islam tidak cukup hanya dengan memelihara jenggot hingga panjang, memakai surban, dan memakai celana dengan tinggi di atas tumit saja. Sebab, ajaran Islam cukup luas dan tidak bisa terwakilkan oleh sekedar simbol belaka,” paparnya.
Pernyataan Kang Said, demikian ia akrab disapa, itu merupakan tanggapan terhadap wacana kembali kepada madzhab Salafy yang dimunculkan sejumlah kelompok di Indonesia. Namun, ia menegaskan, penerapan madzhab Salafy tidak cukup hanya dengan pelaksanaan hal-hal yang simbolik. “Ulama terdahulu dan sejumlah tokoh Islam lain juga mempunyai jenggot yang panjang dan juga memakai surban. Namun, sekali lagi, Islam tidak cukup dengan jenggot dan surban saja,” tuturnya.
Orang yang sudah beriman saja, ujar Kang Said, masih belum cukup. Sebab, orang yang telah beriman harus disempurnakan dengan amal dan ibadah yang baik, serta perilaku yang terpuji. Keimanan masih harus ditopang dengan moral dan prilaku yang baik,” jelas doktor jebolan Universitas Umul Quro’ Mekkah, Arab Saudi, itu.
KESAN konservatif, seperti umumnya para kiai di Indonesia, tak tersirat pada diri Said Aqiel Sirad. Sikap ulama asal Palimanan, Cirebon, Jawa Barat, itu bisa dikatakan sangat moderat. Bahkan, ia cenderung kontroversial. Keberaniannya mempertanyakan kembali dasar-dasar penting yang telanjur baku dalam praktik kehidupan beragama umat Islam mengingatkan orang kepada apa yang pernah dilakukan pendahulunya, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dan Nurcholish Madjid.
Atas keberanian sikapnya yang “kelewat batas” itu, Said Aqiel pernah dikafirkan oleh 12 orang kiai. Ada pula yang melayangkan surat ke almamaternya –Universitas Ummul Qura’ – Mekkah, meminta agar mencabut gelar doktornya. “Jangankan gelar doktor, gelar haji pun ambillah. Enggak usah digelari haji juga enggak apa-apa,” tukasnya menanggapi serangkaian tudingan “miring” atas dirinya itu.
Tudingan “miring” itu bermula dari sejumlah sikapnya yang dinilai nyeleneh. Misalnya, ia menjalin persahabatan yang begitu erat dengan tokoh-tokoh non-muslim, seperti Romo Mangunwijaya (almarhum), Romo Mudji Sutrisno, dan Romo Sandyawan Sumardi. Ia juga tercatat sebagai salah satu penasihat Angkatan Muda Kristen Republik Indonesia.
Lalu, minatnya terhadap masalah kebangsaan dan hak asasi manusia juga tercermin dari keberadaannya sebagai salah satu pendiri Gerakan Keadilan dan Persatuan Bangsa, bersama tokoh-tokoh seperti Siswono Yudohusodo dan Sarwono Kusumaatmadja. Selain itu, ia juga bergabung dalam Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa Kerusuhan 12-14 Mei 1998.
Menurut Said Aqil, serangkaian sepak terjangnya itu bukan tanpa alasan. Ia hanya ingin menunjukkan tiga hal penting yang seharusnya menjadi dasar penghayatan agama oleh setiap orang: toleran, moderat, dan akomodatif. “Islam yang benar itu, ya, moderat, toleran, dan akomodatif,” tandas kiai yang senantiasa berpenampilan sederhana itu.
Dibesarkan di lingkungan pesantren, ahli tasawuf ini asli Cirebon. Ayahnya, Kiai Aqil Siraj, adalah seorang ulama bersahaja yang memiliki pondok pesantren kecil di Desa Kempeg, Kecamatan Ciwaringin, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Pesantren itu kini dikelola oleh saudara-saudara K.H. Said Aqil Siraj dan menampung sekitar seribu murid.
Said Aqil menamatkan pendidikan Madrasah Ibtidaiyah (setingkat Sekolah Dasar) di kampung halamannya. Masa pendidikan pesantren setingkat sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas dihabiskannya di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Pada 1980, didampingi istrinya (Nurhayati), ia melanjutkan studi dengan beasiwa di Tanah Suci Mekkah, Arab Saudi. Hidup di perantauan dilaluinya hingga 1994, dengan oleh-oleh gelar doktor bidang Ushuluddin (ilmu perbandingan agama) dari Universitas Ummul Qura’ – Mekkah. Dan di Mekkah pula keempat buah hatinya lahir.
Meski dikenal sebagai intelektual yang kritis, Said Aqil ternyata mempunyai sense of humour yang lumayan tinggi. Suatu hari, ia bercerita tentang kekonyolan penyeragaman yang dilakukan Gubernur Jawa Tengah Soewardi di masa lalu melalui program kuningisasi menjelang dan selama Pemilihan Umum 1997. “Saat itu, jangankan trotoar serta pagar, bedug mesjid, bahkan hewan kurban yang hendak dipotong pada Idul Adha pun harus dicat kuning,” tuturnya. “Itu ‘kan konyol,” tambah kiai yang juga mengajar di Universitas Islam Malang dan Perguruan Tinggi Ilmu Quran, Jakarta, itu.

MENGENAI kualitas umat Islam secara umum yang harus diperjuangkannya, dalam suatu kesempatan KH Said Aqil Siraj mengatakan bahwa saat ini beberapa kalangan Islam di Indonesia memahami agama Islam dengan sangat ekstrim (tatharruf). Mereka sering mengklaim diri sebagai Islam yang kaffah (menyeluruh) tetapi sebenarnya tidak pernah kaffah.
Bahwa Islam bukan hanya akidah dan syariah seperti yang mereka katakan, tetapi juga menawarkan budaya, peradaban dan moderasi Islam. Nah inilah yang ditawarkan NU dan inilah yang harus kita angkat, katanya.
Menurut Kang Said, NU juga harus menjaga, mengawal dan menjadi tameng keutuhan negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena NU berjasa besar ikut membangun dan mendirikan negara ini. Kita harus bersyukur kepada leluhur kita di mana beliau-beliau pada Muktamar di Banjarmasin 1936 sepakat membangun darus salam (negara kesejahteraan) bukan negara Islam. Para ulama merekrut semua komponen yang ada, baik lintas agama, etnis, budaya dan seterusnya. Ini memperkuat sumpah pemuda satu bangasa satu nusa dan satu bahasa, katanya.
Sikap seperti itu, kata Kang Said, terbentuk karena NU tidak terlalu mementingkan simbol, tidak legal formal, tidak mementingkan hal-hal yang bersifat lahir semata. Lebih penting lagi adalah nilai dan substansi Islam itu sendiri.
Di sisi lain, memang orang-orang nasionalis pada zaman itu adalah bukan orang-orang universal, bukan nasionalis sekuler yang betul-betul tidak memasukkan faktor agama atau tidak menginginkan agama campur tangan dalam kehidupan bernegara. Mereka bukan orang-orang nasionalis sebagaimana yang ditulis Ernast Renan dalam Whats the Nation tahun 1980, sehingga waktu itu Soekarno, Agus Salim, Kahar Muzakkar, Kiai Wahab Hasbullah, Wahid Hasyim dan Moh Hatta bisa saling ketemu,” katanya.

( Sumber www.ldii.or.id )

Perbankan Syariah

Informasi Syariah

Informasi Syariah

Perbankan syariah atau Perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan syariah (hukum) islam. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram (misal: usaha yang berkaitan dengan produksi makanan/minuman haram, usaha media yang tidak islami dll), dimana hal ini tidak dapat dijamin oleh sistem perbankan konvensional.

Sejarah

Dunia

Perbankan syariah pertama kali muncul di Mesir tanpa menggunakan embel-embel islam, karena adanya kekhawatiran rezim yang berkuasa saat itu akan melihatnya sebagai gerakan fundamentalis.[1] Pemimpin perintis usaha ini Ahmad El Najjar, mengambil bentuk sebuah bank simpanan yang berbasis profit sharing (pembagian laba) di kota Mit Ghamr pada tahun 1963. Eksperimen ini berlangsung hingga tahun 1967, dan saat itu sudah berdiri 9 bank dengan konsep serupa di Mesir. Bank-bank ini, yang tidak memungut maupun menerima bunga, sebagian besar berinvestasi pada usaha-usaha perdagangan dan industri secara langsung dalam bentuk partnership dan membagi keuntungan yang didapat dengan para penabung.

Masih di negara yang sama, pada tahun 1971, Nasir Social bank didirikan dan mendeklarasikan diri sebagai bank komersial bebas bunga. Walaupun dalam akta pendiriannya tidak disebutkan rujukan kepada agama maupun syariat islam.

Islamic Development Bank (IDB) kemudian berdiri pada tahun 1974 disponsori oleh negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam, walaupun utamanya bank tersebut adalah bank antar pemerintah yang bertujuan untuk menyediakan dana untuk proyek pembangunan di negara-negara anggotanya. IDB menyediakan jasa finansial berbasis fee dan profit sharing untuk negara-negara tersebut dan secara eksplisit menyatakan diri berdasar pada syariah islam.

Dibelahan negara lain pada kurun 1970-an, sejumlah bank berbasis islam kemudian muncul. Di Timur Tengah antara lain berdiri Dubai Islamic Bank (1975), Faisal Islamic Bank of Sudan (1977), Faisal Islamic Bank of Egypt (1977) serta Bahrain Islamic Bank (1979). Dia AsiaPasifik, Phillipine Amanah Bank didirikan tahun 1973 berdasarkan dekrit presiden, dan di Malaysia tahun 1983 berdiri Muslim Pilgrims Savings Corporation yang bertujuan membantu mereka yang ingin menabung untuk menunaikan ibadah haji.

Indonesia

Di Indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalat Indonesia. Berdiri tahun 1991, bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Bank ini sempat terimbas oleh krisis moneter pada akhir tahun 90-an sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba. [2].Saat ini keberadaan bank syariah di Indonesia telah di atur dalam Undang-undang yaitu UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan.

Hingga tahun 2007 terdapat 3 institusi bank syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Sementara itu bank umum yang telah memiliki unit usaha syariah adalah 19 bank diantaranya merupakan bank besar seperti Bank Negara Indonesia (Persero) dan Bank Rakyat Indonesia (Persero).

Sistem syariah juga telah digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat, saat ini telah berkembang 104 BPR Syariah.

Prinsip perbankan syariah

Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah.

Beberapa prinsip/ hukum yang dianut oleh sistem perbankan syariah antara lain [3]:

  • Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.
  • Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam dana.
  • Islam tidak memperbolehkan “menghasilkan uang dari uang”. Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik.
  • Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi.
  • Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.

Produk perbankan syariah

Beberapa produk jasa yang disediakan oleh bank berbasis syariah antara lain:

Jasa untuk peminjam dana

  • Mudhorobah, adalah perjanjian antara penyedia modal dengan pengusaha. Setiap keuntungan yang diraih akan dibagi menurut rasio tertentu yang disepakati. Resiko kerugian ditanggung penuh oleh pihak Bank kecuali kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan, kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah seperti penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan. [4]
  • Musyarokah (Joint Venture), konsep ini diterapkan pada model partnership atau joint venture. Keuntungan yang diraih akan dibagi dalam rasio yang disepakati sementara kerugian akan dibagi berdasarkan rasio ekuitas yang dimiliki masing-masing pihak. Perbedaan mendasar dengan mudharabah ialah dalam konsep ini ada campur tangan pengelolaan manajemennya sedangkan mudharabah tidak ada campur tangan[5]
  • Murobahah , yakni penyaluran dana dalam bentuk jual beli. Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan pengguna jasa kemudian menjualnya kembali ke pengguna jasa dengan harga yang dinaikkan sesuai margin keuntungan yang ditetapkan bank, dan pengguna jasa dapat mengangsur barang tersebut. Besarnya angsuran flat sesuai akad diawal dan besarnya angsuran=harga pokok ditambah margin yang disepakati. Contoh:harga rumah, 500 juta, margin bank/keuntungan bank 100 jt, maka yang dibayar nasabah peminjam ialah 600 juta dan diangsur selama waktu yang disepakati diawal antara Bank dan Nasabah. [6]
  • Takaful (asuransi islam)

Jasa untuk penyimpan dana

  • Wadi’ah (jasa penitipan), adalah jasa penitipan dana dimana penitip dapat mengambil dana tersebut sewaktu-waktu. Dengan sistem wadiah Bank tidak berkewajiban, namun diperbolehkan, untuk memberikan bonus kepada nasabah. [7]
  • Deposito Mudhorobah, nasabah menyimpan dana di Bank dalam kurun waktu yang tertentu. Keuntungan dari investasi terhadap dana nasabah yang dilakukan bank akan dibagikan antara bank dan nasabah dengan nisbah bagi hasil tertentu.

Tantangan Pengelolaan Dana

Laju pertumbuhan perbankan syariah di tingkat global tak diragukan lagi. Aset lembaga keuangan syariah di dunia diperkirakan mencapai 250 miliar dollar AS, tumbuh rata-rata lebih dari 15 persen per tahun. Di Indonesia, volume usaha perbankan syariah selama lima tahun terakhir rata-rata tumbuh 60 persen per tahun. Tahun 2005, perbankan syariah Indonesia membukukan laba Rp 238,6 miliar, meningkat 47 persen dari tahun sebelumnya. Meski begitu, Indonesia yang memiliki potensi pasar sangat luas untuk perbankan syariah, masih tertinggal jauh di belakang Malaysia.

Tahun lalu, perbankan syariah Malaysia mencetak profit lebih dari satu miliar ringgit (272 juta dollar AS). Akhir Maret 2006, aset perbankan syariah di negeri jiran ini hampir mencapai 12 persen dari total aset perbankan nasional. Sedangkan di Indonesia, aset perbankan syariah periode Maret 2006 baru tercatat 1,40 persen dari total aset perbankan. Bank Indonesia memprediksi, akselerasi pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia baru akan dimulai tahun ini.

Implementasi kebijakan office channeling, dukungan akseleratif pemerintah berupa pengelolaan rekening haji yang akan dipercayakan pada perbankan syariah, serta hadirnya investor-investor baru akan mendorong pertumbuhan bisnis syariah. Konsultan perbankan syariah, Adiwarman Azwar Karim, berpendapat, perkembangan perbankan syariah antara lain akan ditandai penerbitan obligasi berbasis syariah atau sukuk yang dipersiapkan pemerintah.

Sejumlah bank asing di Indonesia, seperti Citibank dan HSBC, bahkan bersiap menyambut penerbitan sukuk dengan membuka unit usaha syariah. Sementara itu sejumlah investor dari negara Teluk juga tengah bersiap membeli bank-bank di Indonesia untuk dikonversi menjadi bank syariah. Kriteria bank yang dipilih umumnya beraset relatif kecil, antara Rp 500 miliar dan Rp 2 triliun. Setelah dikonversi, bank-bank tersebut diupayakan melakukan sindikasi pembiayaan proyek besar, melibatkan lembaga keuangan global.

Penghimpunan dana

Selain investor asing, penghimpunan dana perbankan syariah dari dalam negeri akan didongkrak penerapan office-channeling yang didasari Peraturan BI Nomor 8/3/PBI/2006. Aturan ini memungkinkan cabang bank umum yang mempunyai unit usaha syariah melayani produk dan layanan syariah, khususnya pembukaan rekening, setor, dan tarik tunai.

Sampai saat ini, office channeling baru digunakan BNI Syariah dan Permata Bank Syariah. Sejumlah 212 kantor cabang Bank Permata di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Bandung, dan Surabaya sudah dapat melayani produk dan layanan syariah sejak awal Maret lalu. Sementara tahap awal office channeling BNI Syariah dimulai 21 April 2006 pada 29 kantor cabang utama BNI di wilayah Jabotabek. Ditargetkan 151 kantor cabang utama BNI di seluruh Indonesia akan menyusul.

General Manager BNI Syariah Suhardi beberapa pekan lalu menjelaskan, untuk memudahkan masyarakat mengakses layanan syariah, diluncurkan pula BNI Syariah Card. Kartu ini memungkinkan nasabah syariah menggunakan seluruh delivery channel yang dipunyai BNI, seluruh ATM BNI, ATM Link, ATM Bersama, dan jaringan ATM Cirrus International di seluruh dunia.

Hasil penelitian dan permodelan potensi serta preferensi masyarakat terhadap bank syariah yang dilakukan BI tahun lalu menunjukkan tingginya minat masyarakat terhadap perbankan syariah. Namun, sebagian besar responden mengeluhkan kualitas pelayanan, termasuk keterjangkauan jaringan yang rendah. Kelemahan inilah yang coba diatasi dengan office channeling.

Dana terhimpun juga akan meningkat terkait rencana pemerintah menyimpan biaya ibadah haji pada perbankan syariah. Dengan kuota 200.000 calon jemaah haji, jika masing-masing calon jemaah haji menyimpan Rp 20 juta, akan terhimpun dana Rp 4 triliun yang hanya dititipkan ke bank syariah selama sekitar empat bulan. Dana haji yang terhimpun dalam jumlah besar dalam waktu relatif pendek akan mendorong munculnya instrumen investasi syariah. Dana terhimpun itu bahkan cukup menarik bagi pebisnis keuangan global untuk meluncurkan produk investasi syariah.

Di sisi lain, suku bunga perbankan konvensional diperkirakan akan turun. Menurut Adiwarman, bagi hasil perbankan syariah yang saat ini berkisar 8-10 persen, membuat perbankan syariah cukup kompetitif terhadap bank konvensional. “Dengan selisih sekitar dua persen (dari tingkat bunga bank konvensional), orang masih tahan di bank syariah, tetapi lebih dari itu, iman bisa juga tergoda untuk pindah ke bank konvensional,” kata Adiwarman menjelaskan pola perilaku nasabah yang tidak terlalu loyal syariah.

Berdasarkan analisis BI, tren meningkatnya suku bunga pada triwulan ketiga tahun 2005 juga sempat membuat perbankan syariah menghadapi risiko pengalihan dana (dari bank syariah ke bank konvensional). Diperkirakan lebih dari Rp 1 triliun dana nasabah dialihkan pada triwulan ketiga tahun lalu. Namun, kepercayaan deposan pada perbankan syariah terbukti dapat dipulihkan dengan pertumbuhan dana pihak ketiga yang mencapai Rp 2,2 triliun pada akhir tahun. Kenaikan akumulasi dana pihak ketiga perbankan syariah merupakan peluang, sekaligus tantangan, karena tanpa pengelolaan yang tepat justru masalah akan datang.

Perbankan syariah sempat dituding “kurang gaul” dalam lingkungan pembiayaan karena sejumlah nasabah yang dianggap bermasalah pada bank konvensional justru memperoleh pembiayaan dari bank syariah. Akan tetapi, Ketua Umum Asosiasi Bank Syariah Indonesia Wahyu Dwi Agung meyakini, dengan sistem informasi biro kredit BI yang memuat data seluruh debitor, tudingan seperti itu tidak akan terjadi lagi.

Posisi rasio pembiayaan yang bermasalah (non-performing financings) pada perbankan syariah tercatat naik dari 2,82 persen pada Desember 2005 menjadi 4,27 persen Maret lalu. Rasio ini dinilai masih terkendali.

Kemudahan bagi masyarakat untuk mengakses layanan perbankan syariah dan ketersediaan produk investasi syariah tidak akan optimal tanpa promosi dan edukasi yang memadai tentang lembaga keuangan syariah. Amat dibutuhkan pula jaminan produk yang ditawarkan patuh terhadap prinsip syariah.

( Sumber Wikipedia )